Mengenai Saya

Foto saya
Saya sangat suka berorganisasi, tentunya karena saya tinggal didesa maka organisasi lokal yang digeluti. saat ini menjabat sebagi ketua umum FKPI ( Forum Komunikasi Pemuda Islam ), Ketua HPMT ( Himpunan Pemberdayaan Masyarakat Tambang ), Sekretaris Yayasan MAWADDAH bergerak dibidang Pemberdayaan, Ketua Umum IKBPA ( Ikatan Keluarga Besar Al Falah Tanah Laut )

Minggu, 19 Juni 2011

KINTAP DALAM KENANGAN

Ketidak berdayaan masyarakat dalam menyikapi kebutuhan hidup sangat bergantung pada kekuatan individual mereka sendiri. Kekuatan individu tersebut dapat dilihat dari latar belakang kehidupan mereka.

Cerita kehidupan masyarakat Kintap pada umumnya  bersandar pada kekayaan alam yang melimpah ruah. Mereka memanfaatkan kesuburan tanah untuk melakukan ladang berpindah dari satu hutan kehutan yang lainnya dan terus berputar sampai kembali lagi keladang pertama yang mereka garap.

Disetiap mereka melakukan penggarapan, mereka selalu menanam pohon buah-buahan seperti nangka, cempedak, rambutan, durian dan lain-lain. Sehingga tatkala mereka menggarap kembali lahan yang sudah lama ditinggal, mereka akan menikmati hasil dari tanaman buah-buahan tersebut.

Tradisi ladang berpindah ini, sangat mempengaruhi pola pendidikan anak disekolah. Mereka setiap melakukan pembersihan lahan, penanaman dan masa panen selalu mengajak seluruh anggota keluarga. Sehingga berdampak kepada pendidikan anak, seperti anak tidak disekolahkan, putus sekolah ditengah jalan dan ketinggalan mata pelajaran dengan jangka waktu yang panjang sekitar tiga sampai empat bulan.

Kekayaan alam berikutnya, masyarakat merasa sangat tercukupi secara ekonomi, hanya bermodalkan BALAYUNG  bisa  menebang satu sampai dua batang pohon kayu dan hasilnya cukup untuk keperluan keluarga selama satu minggu.



Metode penebangan pohon ini terus berkembang seiring dengan perkembangan pasar. Sehingga masyarakat yang dulunya penebangan menggunakan BALAYUNG satu minggu dua sampai tiga batang pohon. Setelah mereka menggunakan teknologi modern ratusan kubik kayu yang bisa mereka hasilkan dalam satu minggunya.

Dapat dibayangkan bagaimana mudahnya masyarakat dulu dalam mencari uang. Cukup mereka pergi kehutan sehari sampai dua hari ekonomi  keluarga sudah tercukupi. Kemudahan mereka dalam memenuhi kebutuhan keluarga ternyata sangat memberikan dampak negatif terhadap pendidikan anak.

Para orang tua berpikir tidak perlu sekolah tinggi kalau cuman hanya untuk mencari uang, cukup belajar bagaimana cara menebang kayu dan menarik kayu dengan benar.
Biasanya para orang tua yang sudah mampu, membekali anak remajanya dengan dibelikan kerbau atau shin saw. Bagi orang tua yang  kaya biasanya si remaja diajari menyetir mobil truk.

Ini yang terjadi dikintap dibawah tahun 2000, anggapan orang tua pendidikan bukan kebutuhan. “ Sekolah atau tidak sama saja, akan kehutan juga pada akhirnya ” kata para orang tua dulu. Mereka beranggapan sekolah itu tidak penting, karena sekolah akan membuat anak malas, tidak bisa dimanfaatkan dan terkesan menghambur-hamburkan uang.
Intinya mereka belum menyadari dan memahami  betapa pentingnya investasi pendidikan terhadap masa depan anak.

Kesadaran orang tua terhadap pentingnya ijazah mulai timbul tatkala kayu sudah mulai menipis dan dibarengi dengan razia besar-besaran yang  berkepanjangan. Usaha mereka tidak ada lagi, mau ikut gabung keperusahaan ijazah tidak ada. 

Sejak itulah sekolah mulai rame dan hidup kembali, Pembangunan fasilitas pendidikan meningkat dan bertambahnya sekolah lanjutan dan pilihan-pilihan yang disediakan.

Akhirnya orang tua sadar bahwa pendidikan itu teramat penting dalam mendapatkan peluang  pekerjaan. Sehingga timbul budaya baru dimasyarakat “ kalau tidak tamat SLTA akan susah mendapatkan pekerjaan.”

Sebenarnya budaya tersebut adalah racun yang terasa manis namun tidak mematikan. Mengapa ?, kalau orientasinya sekolah = pekerjaan, maka yang akan terjadi, si anak cuman mengejar ijazah saja tidak peduli dengan pelajaran yang terkandung didalamnya. Yang penting lulus dan dapat ijazah masa bodoh dengan prestasi.

Olehnya perlu adanya perubahan pola fikir terhadap generasi remaja dan pemuda kita. Untuk melakukan perubahan tersebut membutuhkan banyak orang. Tidak cukup kalau perubahan itu diserahkan kepada para pendidik saja. Harus ada keterlibatan langsung maupun tidak langsung dari pihak ketiga.

Pihak ketiga yang dimaksud adalah para aktivis pendidikan, pemerhati pendidikan dan orang-orang yang peduli dengan perkembangan remaja dan pemuda yang akan datang.