Tiga minggu yang lalu,
saya ke Desa Sumowono, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa
Tengah. Saya menginap di sana dan melihat penduduk yang memelihara kambing.
Modal pemeliharannya berasal dari PT Jasa Raharja, salah satu perusahaan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN).
Belum setahun, ada
peternak yang awalnya punya dua ekor kambing berkembang menjadi 13 ekor. Ada
juga peternak awalnya punya tiga ekor kambing berkembang menjadi 16 ekor.
Yang saya lihat,
rumahnya bagus-bagus, bajunya bagus-bagus dan istrinya cantik-cantik. Saya
bangga karena beberapa orang yang mendapatkan modal dari BUMN di Desa Sumowono
itu menarik perhatian tetanga-tetangganya yang hidupnya lebih miskin.
Selepas salat Subuh,
saya berdialog dengan jemaah. Saya bertanya karena dari beberapa penduduk desa
tergolong miskin. Termasuk Pak Imam yang pekerjaannya mencari rumput dan
pengembala kambing tapi bukan miliknya.
Saya tanya “Mengapa
tidak ikut minta modal ke BUMN? Mengapa tetangga-tetangganya mau mendapatkan
modal?”
Pak Imam yang hanya
tamatan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan tidak bisa lanjut ke pendidikan lebih
tinggi memberikan jawaban sangat menarik.
“Kami takut waktu Jasa
Raharja ke desa ini menawarkan modal beternak kambing. Takut karena tidak bisa
mengembalikan,” jawab Pak Imam.
Dari jawaban Pak Imam
ini, saya menarik kesimpulan bahwa orang yang tidak pernah berusaha dan orang
miskin takut punya utang. Saya kira ini sikap yang sangat baik karena punya
utang itu tidak baik. Tidak punya utang tapi tidak bisa makan dan punya utang
tapi bisa makan, baik mana? Tentu punya utang tapi bisa makan lebih baik karena
masih bisa berusaha mengembalikan.
Karena ternaknya terus
bertambah dan hasilnya begitu banyak, akhirnya ada 40 orang di Desa Sumowono
yang sangat miskin timbul keberaniannya untuk mendapatkan modal. Nah, ini yang
saya puji sebab ada yang memulai dulu. Seandainya tidak ada yang berani mau
menerima modal dari BUMN dan sungguh-sungguh beternak dan berhasil, mungkin
orang miskin di sekitarnya tidak mau menerima bantuan. Dan itu saya perintahkan
agar permintaan warga segera diproses.
Dari sinilah muncul
ide. Ternyata menjadi pengusaha itu tidak hanya butuh modal, tidak hanya
fasilitas, tetapi juga harus menghilangkan rasa takut. Jadi penyebab kemiskinan
antara lain karena rasa takut. Takut untuk maju. Makanya perlu dilatih
bermental berani dan bertanggung jawab. Memang sikap ini langka tapi harus
dibisakan.
Saya merinding ketika
melihat peserta pelatihan ESQ Pimpinan Ary Ginandjar yang jumlahnya 5 ribu
pengusaha kecil binaan BUMN di JIE EXPO, Kamis (11/10) lalu. Kenapa merinding?
Karena pengusaha kecil yang jumlahnya banyak tidak akan kalah dengan pengusaha
besar.
Indonesia terhindar
dari keruntuhan ekonomi 10 tahun yang lalu bukan oleh konglomerat, tapi justru
para pengusaha kecil. Meskipun kecil tapi kalau disatukan akan menjadi kekuatan
ekonomi yang luar biasa bagi Indonesia.
Saya melakukan survei
kecil-kecilan. Saya ingin tahu persoalan mereka dan bertanya kepada peserta
pelatihan. Apakah lebaran tahun depan tidak bisa membeli baju baru untuk diri
dan anaknya? Apakah besok pagi masih memikirkan bisa makan atau tidak?
Dua pertanyaan itu
ternyata dijawab tidak ada dan tak ada yang mengacungkan tangan. Ini berarti,
mereka yang mengikuti pelatihan sudah tidak mengalami persoalan persediaan
makanan. Orang-orang yang seperti itu dikategorikan tidak lagi miskin.
Pertanyaan ini sengaja
saya ajukan karena waktu saya masih anak-anak dan remaja mengalami masalah yang
cukup serius. Ayah saya yang hanya seorang buruh tani tidak bisa menjamin ada
makanan yang bisa dicicipi untuk esok harinya, sore harinya karena hidup
miskin.
Memang kalau ditanya,
masih menderita gak? Pasti jawabnya menderita. Sudah sejahtera atau belum?
Jawabnya pasti seragam, belum. Karena kebiasaan orang seperti itu.
Setelah saya tahu
peserta pelatihan tidak lagi memikirkan urusan makan, berarti tiap hari yang
dipikirkan adalah bagaimana maju lagi, bagaimana maju lagi, dan bagaimana maju
lagi. Tidak lagi memikirkan, besok pagi bisa makan atau tidak.
Perasaan seperti ini,
“Saya Tidak Lagi Miskin” harus ditanamkan dalam hati. Perasaan “Saya Ini Miskin
Sekali, Saya Ini Menderita, Saya Ini Kok Tidak Sejahtera” harus dibuang karena
ini adalah penyakit dan perasaan yang tidak bersyukur kepada Tuhan.
Beda dengan orang
miskin yang tiap hari otaknya penuh kegelisahan urusan besok pagi masih bisa
makan atau tidak. Akibatnya, pikiran kalut, berpikirnya jangka pendek dan
konsentrasi untuk maju itu hilang.
Menjadi pengusaha
besar jangan sepelekan hal yang kecil. Ingin tahu penyakitnya pengusaha kecil
itu seperti apa? Pengusaha kecil itu penyakitnya ingin menjadi pengusaha besar
dengan cepat. Tolong diingat, barang siapa yang ingin menjadi pengusaha besar
lebih cepat maka Anda sedang mengidap penyakit.
Apa tidak boleh ingin
lebih cepat menjadi pengusaha besar? Boleh. Tapi harus bisa mengukur diri.
Pengusaha yang baik adalah yang merangkak. Merangkaknya bisa pelan-pelan, agak
cepat, cepat dan lebih cepat lagi. Tidak boleh merangkak langsung melompat ke
lantai 19, nanti jatuh.
Biasanya, kalau sudah
berhasil usaha yang satu, ingin usaha yang lain lagi. Sebaiknya pengusaha kecil
itu harus sungguh-sungguh menekuni apa yang sedang dikerjakan dulu. Menekuni
apa yang sedang dikerjakan, bukan sambil mengerjakan usaha itu sambil mikir mau
usaha apalagi.
Bagi yang beragama
Islam dan pernah belajar tauhid tentu paham bahwa kalau tidak bertauhid berarti
musyrik. Inti dari tauhid adalah mengesakan Tuhan. Tidak menduakan, mentigakan
dan seterusnya.
Jadi tauhid pengusaha
itu adalah fokus. Tidak gampang tergoda oleh usaha lain yang kelihatannya
menarik tapi bisa mencelakakan. Pengusaha yang tidak fokus berarti tidak
bertauhid terhadap usahanya. Barang siapa yang tidak bertauhid berarti masuk
nerakanya pengusaha. Nerakanya pengusaha adalah bangkrut.
Ada pertanyaan, Pak
Dahlan sebelum di pemerintahan kan punya 100 perusahaan? Memang betul. Waktu
itu saya punya 100 perusahaan lebih sebelum menjabat Dirut PLN. Tapi sekarang
sudah saya lepas. Sudah saya serahkan kepada anak saya mengurusunya.
Berarti Pak Dahlan
tidak fokus? Ini beda dengan yang saya sampaikan. Saya mengurus 100 perusahaan
lebih setelah berkembang. Tetapi 10 tahun pertama, saya hanya mengurus satu
saja. Jadi jangan lihat saya 10 tahun yang lalu, tapi lihat saya 30 tahun yang
lalu.
30 tahun yang lalu
ketika menjadi pengusaha kecil dan memulai usaha, saya hanya fokus pada satu
perusahaan. Baru setelah perusahaan kuat sekali, baru berkembang. Ibaratnya, 10
tahun pertama, atau paling tidak 5 tahun pertama, hanya mengamalkan syariat
pengusaha.
Setelah menjadi
pengusaha 10 tahun, anggap saja sudah ma’rifat. Tapi jangan cepat-cepat ingin
ke tingkat ma’rifat karena bisa menjadi gila. Jalani dulu syariatnya, tekun,
fokus, dan sungguh-sungguh.
Menjadi pengusaha
bukan berarti kita tidak bisa gagal. Sebab, menjadi pengusaha itu memang sulit.
Saya menjadi pengusaha pernah merasakannya. Pernah jatuh dan pernah ditipu.
Saya bisa menduga, dari 5 ribu orang pengusaha peserta pelatihan ESQ pasti
pernah ditipu.
Yang belum punya
pengalaman ditipu sampai hari ini, saya doakan mudah-mudahan cepat ditipu
orang. Kenapa? Karena ditipu itu penting. Seorang pengusaha yang belum ditipu
belum bisa menjadi pengusaha yang sejati.
Menjadi korban
penipuan tentu sakit hati luar biasa karena sudah matia-matian bekerja, anak
dan istri terlantar, sampai ada yang mendramatisir berusaha sampai kepala jadi
kaki, kaki jadi kepala.
Tetapi, pengusaha
sejati yang ditipu, tidak akan menyerah. Bagi yang menyerah karena ditipu
berarti dia bukan pengusaha bermental kuat. Sakit hati boleh tapi kalau
berkepanjangan itu akan merugikan dirinya sendiri.
Kalau ditipu sekali, kita
bangkit, ditipu dua kali, bangkit lagi. Kebangkitan itu membentuk pengusaha
jadi tangguh. Tetapi jangan ditipu sampai tiga kali dan jangan balas menipu.
Di Indonesia, masih
ada 36 juta rakyat yang terkategori miskin dan miskin sekali. Berpikirnya, besok
masih bisa makan atau tidak. Ini adalah ladang ibadah dan amalan bagi
orang-orang yang sudah usahanya berjalan meskipun kecil untuk menggerek rakyat
yang masih miskin untuk imotivasi menjadi pengusaha.
Kalau saya yang
mengajak 36 juta orang yang miskin dan masih miskin sekali itu untuk bangkit
mungkin susah. Tapi kalau pengusaha kecil yang mengajak mungkin akan berhasil.
Karena mereka bisa membuktikan bisa berusaha dan tetangganya melihat secara
nyata keberhasilan yang diraih.
Tetangga yang miskin
dan masih miskin sekali ini perlu dimotivasi, diajari, dituntun untuk menjadi
pengusaha kecil dan keluar dari kemiskinan. Akhirnya, saya berharap cepat
berhenti sebagai mitra BUMN dan menunjukan sebagai pengusaha yang mandiri.
Jangan punya perasaaan ingin terus dibina BUMN, punyalah perasaan maksimum tiga
tahun, dua tahun atau bahkan satu tahun menjadi mitra. Karena yang antri masih
panjang, masih ada 36 juta orang.
Tapi, lebih banyak
lagi jumlah orang yang tidak lagi berpikir besok pagi masih bisa makan seperti peserta
pelatihan ESQ. Jumlahnya mencapai 136 juta orang dan berpikirnya bagaimana
maju, bagaimana maju dan bagaimana maju. Inilah modal bagi Negara kita yang
akan membuat Indonesia menjadi maju dan modern 15 tahun ke depan.
Karena ada 136 juta
orang yang berpikir ingin maju, ingin maju dan ingin maju maka Indonesia
terpaksa maju. Saya mohon maaf menggunakan kata ‘terpaksa’ karena Negara bisa
maju berkat rakyatnya berpikir maju. Bukan orang-orang elit, bukan orang-orang
yang tiap hari ngomong politik. Insya Allah, 15 tahun ke depan kita akan
menjadi saksi bagi kemajuan Indonesia. (*)
DahlanIskan
Menteri BUMN
Menteri BUMN